Ternyata, aku
juga mencintai….
Waktu mulai berwarna cokelat,
malam hendak tiba
Aku duduk berhadap hadapan dengan
mata jendela
Angin bersemilir, kerinduan
meradang.
Dari suatu sudut kamar, aku
mengadah ke cawan langit.
Memperhatikan setiap lekuk malam.
Kupejam mata, dan stifi terlukis
di dalam nya.
Malam ini..
Mungkin aku bisa menitip mata
pada burung gereja.
Di langit sebelah mana aku bisa
melihat stifi dari kejauhan.
Berjalan sendiri mencari dimana
aku.
Pohon-pohon tak berdaun
Rerantingnya seperti tangan-tangan
Berdoa meminta hujan
Dari dulu aku cemburu kepada
hujan.
Dia lebih banyak menyentuh nya.
Sementara, aku di balik gerimis.
Menabung detik yang membisu.
Malam tiba, jatuh tepatnya, jatuh
di atap bumi.
Aku tak tahu aku mencintai bumi
rupanya.
Bisakah seorang bukan petani
mencintai bumi?
Aku bukan petani, dulu ayahku
melarangku jadi petani
Lalu aku menulis puisi, aku pikir
kertas itu juga bumi
Dari mata burung gereja kulihat
jalan jalan mengalir
Seperti sungai yang sungguh
keruh.
Dan tiba tiba saja aku mencintai
sungai
Maupun airnya keruh dan engkau
tak disana
Mencuci pakaian kotor dan badanmu
disana
Tetapi aku mencintai nya, sangat
mencintai nya.
Sebab, ia mengalir seperti waktu
dan kehidupan
Aku tahu kalimat ini sudah jutaan
kali aku sebutkan
Sebelum, dan sesudah aku
mengatakan nya
Tapi, sesekali aku ingin jadi
bukan penyair.
Berkata-kata dengan bahasa umum
yang basi
Ternyata, langitlah yang
menyiramkan warna cokelat.
Tadi siang, aku lihat ia berwarna
biru, seperti warna
kemeja berbau peluh yang aku
kenakan sekarang
mengalahkan warna pohon hijau
disana rupanya
Dan ternyata aku juga mencintai
pohon rupanya
aku mencintai pohon saat jatuh ke
tanah
dan bayangan nya indah sekali
aku juga mencintai jalan, jalan
apa saja,
kecuali jalan didepan kantor
gubernur,
ada tanda merah dilarang berhenti
disana
tetapi aku paling mencintai
sebuah jalan
tak penting betul menyebut nama
jalan itu
ia ada di sebuah kota, aku pernah
bahagia di jalan itu,
saat itu hujan turun, gerimis,
menyelimuti jalan itu
aku tak berlindung, kutadahkan
tanganku
kuterima saat dia jatuh.
Jalan itu menuju kampus ku
ternyata, kampus
Yang terletak tak jauh dari
keramaian ibu kota
Stifi bhakti pertiwi nama nya,
dan aku bersama mu
Sedang berdiri disini, dihadapan
nya, dihadapan ribuan tanya
Sedang apa dia disana, aku pikir
juga begitu
Sedang apa aku disini, memakai
pakaian rapi
Dan kalian semua menatapku sepi
Ternyata aku disini, di panggung
ini
Seorang yang bahkan tak layak
kenakan kemeja berbau peluh
Dan ternyata, saya disini, sedang
mencintai stifi rupanya
Tak kusangka, ternyata aku
mencintai stifi rupanya.
Mungkin juga kau, dan juga engkau
Tak apa walau hanya kita, tapi
kuminta perkenalkan lah ini pada dunia
Kelak saat aku membaca ini.
Ribuan tanya diasah
Tajam, dan sedemikian rupa
Tapi, biarlah aku dulu yang
bertanya kepada kalian.
Sebuah pertanyaan yang kelak
diingat langit, dikenang bumi
“apa hari ini, kau juga mencintai
stifi?”
Palembang, 11 juni 2012
Puisi yang baik itu menertawai
ketidakmampuan sendiri.
Misalnya ketidakmampuan aku mencintai
diriku.
----------------------------------------------------------
draft kedua saya, tentang ketidak mampuan saya menulis puisi
ya, puisi ini gagal saya bacakan dan lebih memilih puisi lain nya.
"dan ketika malam, ketika langit sunyi senyap. kumelihat puisi yang di tertawakan ini menangis dan kembali menjadi tinta"
2 ocehan:
saya bisa menunjukkan dari puisi saya yang mana saja kamu ambil banyak kalimat di tulisan kamu di atas.
Puisi ini yang aku sudah minta izin ke kakak sblm tanggal aku bacain di pensi.
Nah, kan kata kakak gpp.
Bukan nya kita sudah bicarakan ini via DM?
Posting Komentar